FILSAFAT ( HAKEKAT OBJEK DAN STRUKTUR ILMU
Ketika mendengar istilah
filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “monster”
yang seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu
sendiri. Jika kita mau melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan
sehari-hari dan kita melaluinya. Permasalahan yang berada dalam filsafat
menyangkut pertanyaan, pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan yang
logis antara ide-ide yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris.
Perkembangan
zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi
perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu
kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama sekaligus sebagai
objek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah ontologi,
epistemologi dan aksiologi. Maka dari itu, kami akan membahas tentang ontologi,
epistemologi dan aksiologi.
HAKIKAT, OBJEK DAN
STRUKTUR ILMU
2.1.
Konsep
dan Pengertian Ontologi
Secara Etimologi, Ontologi berasal dari
Bahasa Yunani, yaitu kata ta onta dan logia. Ta
onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti
ajaran/ilmu pengetahuan.Jadi Ontologi dapat di katakan sebuah ilmu yang
menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari mana asal dan sumber
pengetahuan tersebut. Berdasarkan Defenisi diatas, Secara sederhana
ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan
konkret secara kritis.
Berfikir ontologisme ialah sikap manusia yang tidak lagi
dalam kepungan kekuasaan mitis (mitos), manusia merasakan dirinya
terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya sepeti dipentaskan dalam
mitologi-mitologi yang dinamakn bangsa-bangsa primitif, melainkan secara bebas
ingin meneliti segala hal ihwal atau masalah kehidupan yang dijumpai dan
bagaimana cara penyelesaikan masalah masalah yang ada dengan sebaik baiknya..
2.2.
Objek Kajian Ontologi
Ontologi merupakan salah satu cabang penting dalam Ilmu Filsafat. Objek material
Filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam
kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Dalam hal itu berarti bahwa filsafat
mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari mineral (benda
mati), benda hidup (vegetative, animalia dan manusia), dan causa
prima (sang pencipta).serta hubungan yang terjalin di antara mereka
dengan posisinya masing masing sehingga tercapailah tujuan yang di inginkan.
2.3.
Beberapa Pandangan Filsuf Terhadap Objek
Menurut
Ali Mudhofir (1996) ada tiga pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran
yang berbeda. Tiga segi pandangan itu adalah sebagai berikut.
2.3.1. Keberadaan Dipandang dari Segi
Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas),
artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan ini melahirkan
beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya, yaitu:
2.3.1.1.
Monisme
Aliran
yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. kenyataan tersebut
dapat berupa jiwa, materi tuhan atau substansi lainnya yang dapat diketahui. Tokohnya
antara lain: Thales (625-545 SM), yang berpendapat bahwa kenyataan yang
terdalam adalah satu substansi, yaitu air. Anaximander (610-547 SM),
berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Aperion, yaitu
sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan
dengan salah satu benda yang ada dalam duni.amenurut saya kenyataan yang
sedalam-dalamnya adalah Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu yng ada di
dunia ini.
2.3.1.2.
Dualisme (Serba
Dua)
Aliran yang menganggap
adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. tokoh- tokoh yang
termasuk alairan ini adalah Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia,
yaitu dunia indra (dunia baying-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka
bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M), yang membedakan substansi
pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716), yang membedakan antara
dunia yang nyata dan dunia yang semu/tidak nyata. Di dunia ini semuanya di
ciptakan dngan berpasang pasangan ada siang ada malam,hidup dengan mati.dll.
2.3.1.3.
Pluralisme (Serba
Banyak)
Aliran yang tidak mengakui
adanya satu substansi dan dua substansi melainkan banyak substansi. Para Filsuf
yang termasuk Prulalisme di antaranya Empedokles (490-430 SM), yang menyatakn
bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsure, yaitu udara, api, air dan
tanah. Anaxagoras (500-428 SM), yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri
atas unsure-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda
dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakannous. Dikatakannya
bahwa nous adalah suatu zat yang paling halus.menurut saya selain Tuhan dapat
di katakana bnyak .karena Tuhan lah yang
telah menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini.
2.3.2.
Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat
(Kualitas)
Keberadaan dipandang dari
segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai berikut:
2.3.2.1.
Spiritualisme
Ajaran yang mengatakan
bahwa ajaran yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nous, Reason, Logos)
yakni roh yang mendasari seluruh alam. Sebagai cntoh manusa dapat mengerjakan segala sesuatu karena di dalam jasad manusia
ada roh yang di ciptakan untuk menggerakan jasad dan apabila roh itu pergi maka
jasad akan mati.
2.3.2.2.
Materialisme
Materi
adalah sesuatu yang dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang serta memiliki
bergai fungsi. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa,
keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses
kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM), berkeyakinan
bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan
badan. Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi
di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga pikiran, perasaan adalah
gerak materi belaka. Termasuk juga tubuh manusia yang tersusun atas
beribu-beribu sel sampailah terbentuk tbuh manusia sedemikian rupa bahkan di
dalam Aquran manusia di sebut mahkluk yang palng sempurna.
2.3.3.
Keberadaan
Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
Seagala yang terjadi itu pasti
berproses dan mengalam perubahan kecuali Tuhan.Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini dalah sebagai
berikut:
2.3.3.1.
Mekanisme
Menyatakn bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan azas-azas mekanik
(mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat
dijelaskan menurut kaidahnya. Alam dianggap sebagai sebuah mesin yang keseluruhan
fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya.matahari bersinar di
siang hari dan rembulan bersinar di malam hari itu sudah terjadi sejak dunia
ini di ciptakan.
2.3.3.2.
Teleologi (serba-tujuan)
Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab
akibat, akan tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang
mengarahkan alam ke suatu tujuan. Dan sebab akibat hanyalah bagi alam dan
segala yang hidup di alam untuk mencapai tujuannya masing-masig..
2.3.3.3.
Vitalisme
Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara
fisika-kimiawi, memang .hidup selalu bersanding dngan istilah fisika dan kimia
tetapi hidup tak mungkin dapat dijelaskan secara fisika maupun kimiawi. karena
hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup
2.4. Ontologi
Islam
Islam juga punya penalaran
terhadap objek-objek Fisik dan Metafisik. Ilmuwan-ilmuwan Muslim memiliki
kepercayaan yang kuat terhadap status ontologism bukan hanya pada objek fisik
(yang kasat mata), tetapi juga pada objek-objek metafisik (yang gaib).
objek-objek fisik ini mereka sebut sebagai Mahsusat (objek-objek
yang dapat ditangkap indra). Sedangkan objek-objek metafisik mereka sebut Ma’qulat (objek-objek
yang tidak bisa ditangkap oleh indra, tetapi dapat dipahami oleh akal manusia).
Metafisika diyakini memiliki status ontologism yang sama nyatanya dengan
objek-objek fisik, bahkan mungkin lebih riil daripada objek-objek indra.
Dalam Islam, ontologi itu
tidak sekedar yang tampak dan dapat diserap oleh alam empiris, tapi lebih dari
itu. Hakekat mutlak mendasari
alam zahir; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan-tumbuhan, dan alam-alam
lainnya. Pemahaman ini agak berbeda dengan cara pamdang Barat yang
membatasi dirinya dengan dunia empiris. Bagi mereka yang tampak dan diserap oleh
panca indera itulah yang wujud. Sementara bagi Islam, yang wujud itu tidak
sekedar fisik, tapi transfisik atau metafisik.
Sebagai
bahan perbandingan mengenai konsep ontologi ilmu yang islami, mari kita lihat
QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
2.
“Sesungguhnya dalam
penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat
tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat
Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka
memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan
Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka
peliharalah Kami dari siksa neraka”.
Juga QS. Ath-Tholaq
ayat 12:
“Allah-lah yang menciptakan
tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar
kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan
Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.
dan QS. Al-Hadid Ayat 3:
“Dialah yang Awal dan yang
akhir yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.
Yang dimaksud dengan: yang
Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, yang akhir ialah yang
tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah, yang nyata adanya
karena banyak bukti- buktinya, tiada diatasnya satu apapun, dan yang Bathin ialah
yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal, dan tidak ada satupun yang
menghalangi-Nya, dan dia lebih dekat kepada makhluk-Nya daripada makhluk itu
sendiri.
Dari
ayat-ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology Ilmu yang
Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya,
melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta) dan
segala sesuatu selainNya sebagai makhluk, segala atribut yang bisa secara benar
dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena kemakhlukannya. Jadi
Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan dan
mahkluk sebagai ciptaanNya.karena tidak mungkin segala yang ada di dunia ini
terjadi tanpa ada yang menciptakanNya.
2.5.
Sejarah Masuknya Filsafat ke Dalam Islam
Senarnya dalam kitab Alquran sudah di jelaskan tentang filsafat
– filsafat umat terdahulu namun kira-kira pada tahun 700M mulai di kenal oleh
kalangan luas, dan priode ini sering dinamakan priode skolastik sampai
pada tahun 1450. Filsafat skolastik ialah filsafat yang berusaha memecahkan
secara rasional mengenai persoalan-persoalan logika, sifat ada, kebendaan,
kerohanian, dan akhlak dengan tetap menyesuaikan dengan kitab suci. Istilah
skolastik tidak begitu banyak dipakai di kalangan orang-orang Islam. Melainkan
cendrung memakai istilah Ilmu Kalam atau Filsafat
Islam.
Pemikiran Filosofis masuk
ke dalam Islam melalui Falsafah Yunani dijumpai ahli-ahli fakir di Sirya,
Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan Falsafat Yunani datang ke daerah
itu dengan ekspansi Alexander Agung ke Timur di abad ke IV sebelum Keristus..
2.6.
Aspek
Ontologi Ilmu Hukum
Pada
dasarnya, menurut Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu merupakan telaahan
secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu
seperti : “obyek apa yang ditelaah ilmu? bagaimana wujud yang hakiki dari obyek
tersebut? bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia
(seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?
Konkritnya,
bidang telaah sebagaimana konteks di atas merupakan bidang Ontologi Ilmu.
Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu Hukum maka bidang
Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak
kajian substansial dari Ilmu Hukum.
Sebagaimana
diketahui bersama bahwasanya menurut pandangan doktrina seperti E. Ultercht,
Van Apeldoorn, Prof. Van Kant, Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada
dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan yang harus ditaati oleh anggota
masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi. Oleh karena itu,
menurut Penulis dengan titik tolak teoritik sebagaimana pandangan doktrina dan
aspek praktek pada dunia peradilan maka secara Universal ada 3 (tiga) aspek
yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
1.
Nilai-nilai
hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain-lain. Apabila
aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan
bahwa “nilai-nilai hukum” ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang
abstrak/teoritis.
2.
Kaidah-kaidah
hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah bersifat abstrak
maupun konkret. Pada dasar “kaidah-kaidah hukum” ini dikaji oleh bidang yang
disebut ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft).
3.
Perilaku
hukum atau kenyataan/peristiwa hukum. Singkatnya, konteks ini dikaji oleh
Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum, Psikologi Hukum dan Sejarah
Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis seperti : Rechts Filosofie,
Rechts theorie dan Rechts Dogmatiek dengan aspek imperis/nyata yang merupakan
kajian Recht en Rechtspratijkheid. Dengan 3 (tiga) bidang dari Ilmu Hukum
tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial
dari Ilmu Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu.
Ternyata dari Optik
Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah
Hukum”. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum.
Tetapi dalam korelasi demikian ini persoalannya timbul dalam posisi dan situasi
kaidah hukum yang bagaimana menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Seperti
diuraikan konteks di atas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum
mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft).
Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum tidak
dapat melepaskan diri dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu
bersifat normative.
Ciri
kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya
legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan
oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan
menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa
terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan sendirinya sudah
mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian
dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal
itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang perilaku, terhadap nilai atau
kaidah seperti Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum misalnya lebih menekankan
pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik tolak bidang
kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan
perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata sebagai hukum yang
hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia
sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.
Pada
dasarnya, menurut J. J. H. Bruggink perintah perilaku, yang mewujudkan isi
kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang
paling umum adalah :
1.
Perintah
(Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2.
Larangan
(Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3.
Pembebasan
(Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak
melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan dan
4.
Izin
(toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang
secara umum dilarang.
DAFTAR PUSTAKA