Search This Blog

Showing posts with label Filosofis. Show all posts
Showing posts with label Filosofis. Show all posts

Friday, 29 April 2016

FILSAFAT ( HAKEKAT OBJEK DAN STRUKTUR ILMU


FILSAFAT ( HAKEKAT OBJEK DAN STRUKTUR ILMU

 filsafat ( hakekat objek dan struktur ilmuKetika mendengar istilah filsafat maka yang terbayangkan dalam benak pikiran adalah ibarat “monster” yang seram dimana kita akan kesulitan dalam mengerti, memahami, filsafat itu sendiri. Jika kita mau melihat sebenarnya filsafat merupakan lahir dari kehidupan sehari-hari dan kita melaluinya. Permasalahan yang berada dalam filsafat menyangkut pertanyaan, pertanyaan mengenai makna, kebenaran, dan hubungan yang logis antara ide-ide yang tidak dapat dipecahkan oleh ilmu pengetahuan empiris.
Perkembangan zaman berlangsung begitu cepat. Masyarakat berjalan secara dinamis mengiringi perkembangan zaman tersebut. Seiring dengan hal itu, filsafat sebagai suatu kajian ilmu juga berkembang dan melahirkan tiga dimensi utama sekaligus sebagai objek kajiannya. Ketiga dimensi utama filsafat ilmu ini adalah ontologi, epistemologi dan aksiologi. Maka dari itu, kami akan membahas tentang ontologi, epistemologi dan aksiologi.


HAKIKAT, OBJEK DAN STRUKTUR ILMU

2.1.            Konsep dan Pengertian Ontologi
Secara Etimologi, Ontologi berasal dari Bahasa Yunani, yaitu kata ta onta dan logia. Ta onta berarti segala sesuatu yang ada dan logia berarti ajaran/ilmu pengetahuan.Jadi Ontologi dapat di katakan sebuah ilmu yang menceritakan apa hakikat dari pengetahuan dan dari mana asal dan sumber pengetahuan tersebut.  Berdasarkan Defenisi diatas, Secara sederhana ontologi bisa dirumuskan sebagai ilmu yang mempelajari realitas atau kenyataan konkret secara kritis.

Berfikir ontologisme ialah sikap manusia yang tidak lagi dalam kepungan kekuasaan mitis (mitos), manusia merasakan dirinya terkepung oleh kekuatan-kekuatan gaib sekitarnya sepeti dipentaskan dalam mitologi-mitologi yang dinamakn bangsa-bangsa primitif, melainkan secara bebas ingin meneliti segala hal ihwal atau masalah kehidupan yang dijumpai dan bagaimana cara penyelesaikan masalah masalah yang ada dengan sebaik baiknya..

2.2.            Objek Kajian Ontologi
Ontologi merupakan salah satu cabang penting dalam Ilmu Filsafat. Objek material Filsafat adalah segala sesuatu yang ada, baik yang ada dalam pikiran, ada dalam kenyataan maupun ada dalam kemungkinan. Dalam hal itu berarti bahwa filsafat mempelajari apa saja yang menjadi isi alam semesta mulai dari mineral (benda mati), benda hidup (vegetative, animalia dan manusia), dan causa prima (sang pencipta).serta hubungan yang terjalin di antara mereka dengan posisinya masing masing sehingga tercapailah tujuan yang di inginkan.

2.3.            Beberapa Pandangan Filsuf Terhadap Objek
 Menurut Ali Mudhofir (1996) ada tiga pandangan, yang masing-masing menimbulkan aliran yang berbeda. Tiga segi pandangan itu adalah sebagai berikut.

2.3.1.      Keberadaan Dipandang dari Segi Jumlah (Kuantitas)
Keberadaan dipandang dari segi jumlah (kuantitas), artinya berapa banyak kenyataan yang paling dalam itu. Pandangan ini melahirkan beberapa aliran filsafat sebagai jawabannya, yaitu:

2.3.1.1.                         Monisme

Aliran yang menyatakan bahwa hanya satu kenyataan fundamental. kenyataan tersebut dapat berupa jiwa, materi tuhan atau substansi lainnya yang dapat diketahui. Tokohnya antara lain: Thales (625-545 SM), yang berpendapat bahwa kenyataan yang terdalam adalah satu substansi, yaitu air. Anaximander (610-547 SM), berkeyakinan bahwa yang merupakan kenyataan terdalam adalah Aperion, yaitu sesuatu yang tanpa batas, tidak dapat ditentukan dan tidak memiliki persamaan dengan salah satu benda yang ada dalam duni.amenurut saya kenyataan yang sedalam-dalamnya adalah Tuhan yang telah menciptakan segala sesuatu yng ada di dunia ini.

2.3.1.2.                        Dualisme (Serba Dua)

Aliran yang menganggap adanya dua substansi yang masing-masing berdiri sendiri. tokoh- tokoh yang termasuk alairan ini adalah Plato (428-348 SM), yang membedakan dua dunia, yaitu dunia indra  (dunia baying-bayang) dan dunia ide (dunia yang terbuka bagi rasio manusia). Rene Descartes (1596-1650 M), yang membedakan substansi pikiran dan substansi keluasan. Leibniz (1646-1716), yang membedakan antara dunia yang nyata dan dunia yang semu/tidak nyata. Di dunia ini semuanya di ciptakan dngan berpasang pasangan ada siang ada malam,hidup dengan mati.dll.

2.3.1.3.                        Pluralisme (Serba Banyak)

Aliran yang tidak mengakui adanya satu substansi dan dua substansi melainkan banyak substansi. Para Filsuf yang termasuk Prulalisme di antaranya Empedokles (490-430 SM), yang menyatakn bahwa hakikat kenyataan terdiri dari empat unsure, yaitu udara, api, air dan tanah. Anaxagoras (500-428 SM), yang menyatakan bahwa hakikat kenyataan terdiri atas unsure-unsur yang tidak terhitung banyaknya, sebanyak jumlah sifat benda dan semuanya dikuasai oleh suatu tenaga yang dinamakannous. Dikatakannya bahwa nous adalah suatu zat yang paling halus.menurut saya selain Tuhan dapat di katakana bnyak .karena  Tuhan lah yang telah menciptakan segala sesuatu yang ada di dunia ini.


2.3.2.      Keberadaan Dipandang dari Segi Sifat (Kualitas)

Keberadaan dipandang dari segi sifat (kualitas) menimbulkan beberapa aliran sebagai berikut:

2.3.2.1.                        Spiritualisme

Ajaran yang mengatakan bahwa ajaran yang terdalam adalah roh (Pneuma, Nous, Reason, Logos) yakni roh yang mendasari seluruh alam. Sebagai cntoh manusa dapat mengerjakan  segala sesuatu karena di dalam jasad manusia ada roh yang di ciptakan untuk menggerakan jasad dan apabila roh itu pergi maka jasad akan mati.

2.3.2.2.                        Materialisme

            Materi adalah sesuatu yang dapat diraba, berbentuk, dan menempati ruang serta memiliki bergai fungsi. Hal-hal yang bersifat kerohanian seperti pikiran, jiwa, keyakinan, rasa sedih, dan rasa senang tidak lain hanyalah ungkapan proses kebendaan. Tokoh aliran ini antara lain Demokritos (460-370 SM), berkeyakinan bahwa alam semesta tersusun atas atom-atom kecil yang memiliki bentuk dan badan. Thomas Hobbes (1588-1679), berpendapat bahwa segala sesuatu yang terjadi di dunia merupakan gerak dari materi. Termasuk juga pikiran, perasaan adalah gerak materi belaka. Termasuk juga tubuh manusia yang tersusun atas beribu-beribu sel sampailah terbentuk tbuh manusia sedemikian rupa bahkan di dalam Aquran manusia di sebut mahkluk yang palng sempurna.

2.3.3.   Keberadaan Dipandang dari Segi Proses, Kejadian, atau Perubahan
         Seagala yang terjadi itu pasti berproses dan mengalam perubahan kecuali Tuhan.Aliran yang berusaha menjawab persoalan ini dalah sebagai berikut:

2.3.3.1.                     Mekanisme

      Menyatakn bahwa semua gejala dapat dijelaskan berdasarkan azas-azas mekanik (mesin). Semua peristiwa adalah hasil dari materi yang bergerak dan dapat dijelaskan menurut kaidahnya. Alam dianggap sebagai sebuah mesin yang keseluruhan fungsinya ditentukan secara otomatis oleh bagian-bagiannya.matahari bersinar di siang hari dan rembulan bersinar di malam hari itu sudah terjadi sejak dunia ini di ciptakan.


2.3.3.2.                     Teleologi (serba-tujuan)

      Berpendirian bahwa yang berlaku dalam kejadian alam bukanlah kaidah sebab akibat, akan tetapi sejak semula memang ada sesuatu kemauan atau kekuatan yang mengarahkan alam ke suatu tujuan. Dan sebab akibat hanyalah bagi alam dan segala yang hidup di alam untuk mencapai tujuannya masing-masig..
     
2.3.3.3.                     Vitalisme

      Memandang bahwa kehidupan tidak dapat sepenuhnya dijelaskan secara fisika-kimiawi, memang .hidup selalu bersanding dngan istilah fisika dan kimia tetapi hidup tak mungkin dapat dijelaskan secara fisika maupun kimiawi. karena hakikatnya berbeda dengan yang tidak hidup

2.4.  Ontologi Islam

Islam juga punya penalaran terhadap objek-objek Fisik dan Metafisik. Ilmuwan-ilmuwan Muslim memiliki kepercayaan yang kuat terhadap status ontologism bukan hanya pada objek fisik (yang kasat mata), tetapi juga pada objek-objek metafisik (yang gaib). objek-objek fisik ini mereka sebut sebagai Mahsusat (objek-objek yang dapat ditangkap indra). Sedangkan objek-objek metafisik mereka sebut Ma’qulat (objek-objek yang tidak bisa ditangkap oleh indra, tetapi dapat dipahami oleh akal manusia). Metafisika diyakini memiliki status ontologism yang sama nyatanya dengan objek-objek fisik, bahkan mungkin lebih riil daripada objek-objek indra.
Dalam Islam, ontologi itu tidak sekedar yang tampak dan dapat diserap oleh alam empiris, tapi lebih dari itu. Hakekat mutlak mendasari alam zahir; alam manusia, alam hewan, alam tumbuhan-tumbuhan, dan alam-alam lainnya. Pemahaman ini agak berbeda dengan cara pamdang Barat yang membatasi dirinya dengan dunia empiris. Bagi mereka yang tampak dan diserap oleh panca indera itulah yang wujud. Sementara bagi Islam, yang wujud itu tidak sekedar fisik, tapi transfisik atau metafisik.
Sebagai bahan perbandingan mengenai konsep ontologi ilmu yang islami, mari kita lihat QS. Ali Imran ayat 190-191 sebagai berikut:
2.                   
“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal. (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan Kami, Tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha suci Engkau, Maka peliharalah Kami dari siksa neraka”.

Juga QS. Ath-Tholaq ayat 12:

“Allah-lah yang menciptakan tujuh langit dan seperti itu pula bumi. perintah Allah Berlaku padanya, agar kamu mengetahui bahwasanya Allah Maha Kuasa atas segala sesuatu, dan Sesungguhnya Allah ilmu-Nya benar-benar meliputi segala sesuatu”.

dan QS. Al-Hadid Ayat 3:

“Dialah yang Awal dan yang akhir yang Zhahir dan yang Bathin, dan Dia Maha mengetahui segala sesuatu”.
Yang dimaksud dengan: yang Awal ialah, yang telah ada sebelum segala sesuatu ada, yang akhir ialah yang tetap ada setelah segala sesuatu musnah, yang Zhahir ialah, yang nyata adanya karena banyak bukti- buktinya, tiada diatasnya satu apapun, dan yang Bathin ialah yang tak dapat digambarkan hikmat zat-Nya oleh akal, dan tidak ada satupun yang menghalangi-Nya, dan dia lebih dekat kepada makhluk-Nya daripada makhluk itu sendiri.

Dari ayat-ayat tersebut dapat diperoleh gambaran bahwa Konsep Ontology Ilmu yang Islami memandang realitas dari sudut pandang ke-Khalik-makhluk-an. Artinya, melihat realitas dari pemahaman adanya Allah sebagai Khalik (pencipta) dan segala sesuatu selainNya sebagai makhluk, segala atribut yang bisa secara benar dilekatkan pada makhluk adalah perwujudan niscaya karena kemakhlukannya. Jadi Ontologi disini mengandung pengertian tentang hakikat keberadaan Tuhan dan mahkluk sebagai ciptaanNya.karena tidak mungkin segala yang ada di dunia ini terjadi tanpa ada yang menciptakanNya.

2.5.            Sejarah Masuknya Filsafat ke Dalam Islam

Senarnya dalam kitab Alquran sudah di jelaskan tentang filsafat – filsafat umat terdahulu  namun  kira-kira pada tahun 700M mulai di kenal oleh kalangan luas, dan priode ini sering dinamakan priode skolastik sampai pada tahun 1450. Filsafat skolastik ialah filsafat yang berusaha memecahkan secara rasional mengenai persoalan-persoalan logika, sifat ada, kebendaan, kerohanian, dan akhlak dengan tetap menyesuaikan dengan kitab suci. Istilah skolastik tidak begitu banyak dipakai di kalangan orang-orang Islam. Melainkan cendrung memakai istilah Ilmu Kalam atau Filsafat Islam.

Pemikiran Filosofis masuk ke dalam Islam melalui Falsafah Yunani dijumpai ahli-ahli fakir di Sirya, Mesopotamia, Persia dan Mesir. Kebudayaan dan Falsafat Yunani datang ke daerah itu dengan ekspansi Alexander Agung ke Timur di abad ke IV sebelum Keristus..

2.6.            Aspek Ontologi Ilmu Hukum
Pada dasarnya, menurut Jujun S. Suriasumantri Filsafat Ilmu merupakan telaahan secara filsafat yang ingin menjawab beberapa pertanyaan mengenai hakikat ilmu seperti : “obyek apa yang ditelaah ilmu? bagaimana wujud yang hakiki dari obyek tersebut? bagaimana hubungan antara obyek tadi dengan daya tangkap manusia (seperti berpikir, merasa dan mengindera) yang membuahkan pengetahuan?

Konkritnya, bidang telaah sebagaimana konteks di atas merupakan bidang Ontologi Ilmu. Apabila konteks tersebut dapat dikorelasikan dengan Ilmu Hukum maka bidang Ontologi Ilmu Hukum pada hakikatnya akan menjawab pertanyaan apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum.

Sebagaimana diketahui bersama bahwasanya menurut pandangan doktrina seperti E. Ultercht, Van Apeldoorn, Prof. Van Kant, Kusunadi Pudjosewoyo dan lain-lain maka pada dasarnya Hukum merupakan sebuah aturan yang harus ditaati oleh anggota masyarakat dan pelanggaran terhadapnya akan mendapat sanksi. Oleh karena itu, menurut Penulis dengan titik tolak teoritik sebagaimana pandangan doktrina dan aspek praktek pada dunia peradilan maka secara Universal ada 3 (tiga) aspek yang dipelajari dari Ilmu Hukum, yaitu :
1.                  Nilai-nilai hukum seperti ketertiban, keadilan, kepastian hukum dan lain-lain. Apabila aspek ini dijabarkan secara singkat dapatlah diasumsikan bahwa “nilai-nilai hukum” ini merupakan bidang kajian Filsafat Hukum yang abstrak/teoritis.
2.                  Kaidah-kaidah hukum berupa kaidah tertulis ataupun tidak tertulis, kaidah bersifat abstrak maupun konkret. Pada dasar “kaidah-kaidah hukum” ini dikaji oleh bidang yang disebut ilmu tentang kaidah (Normwissenschaft).
3.                  Perilaku hukum atau kenyataan/peristiwa hukum. Singkatnya, konteks ini dikaji oleh Sosiologi Hukum, Antropologi Hukum, Logika Hukum, Psikologi Hukum dan Sejarah Hukum yang menjembatani aspek abstrak/teoritis seperti : Rechts Filosofie, Rechts theorie dan Rechts Dogmatiek dengan aspek imperis/nyata yang merupakan kajian Recht en Rechtspratijkheid. Dengan 3 (tiga) bidang dari Ilmu Hukum tersebut menimbulkan pertanyaan tentang apakah titik tolak kajian substansial dari Ilmu Hukum melalui Optik Ontologi Ilmu.
Ternyata dari Optik Ontologi maka kajian substansial Ilmu Hukum terletak pada “Kaidah-kaidah Hukum”. Tegasnya, Ilmu Hukum tidak mungkin dapat dipisahkan dari kaidah Hukum. Tetapi dalam korelasi demikian ini persoalannya timbul dalam posisi dan situasi kaidah hukum yang bagaimana menjadi perhatian dari Ilmu Hukum. Seperti diuraikan konteks di atas maka Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum mempelajari perilaku hukum sebagai kenyataan hukum (Taatschachen Wissenchaft). Kedua bidang Ilmu Hukum ini yaitu sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum tidak dapat melepaskan diri dari adanya kriteria bahwa perilaku atau kenyataan itu bersifat normative.
Ciri kaidah hukum nampak dengan adanya legitimasi dan sanksi. Pada dasarnya legitimasi menjadikan bahwa suatu hal yang akan menjadi kaidah itu disahkan oleh kewibawaan tertentu sedangkan sanksi menjadikan suatu hal yang akan menjadi kaidah hukum itu bila dilanggar menimbulkan adanya sanksi. Tanpa terbagi-bagi ke dalam bidang-bidang kajian, Ilmu Hukum dengan sendirinya sudah mengkaji nilai, kaidah dan perilaku. Sedangkan perbedaan antara satu kajian dengan kajian lainnya adalah kadar, intensitas atau derajat diantara ketiga hal itu. Acapkali yang dipentingkan adalah bidang perilaku, terhadap nilai atau kaidah seperti Sosiologi Hukum dan Antropologi Hukum misalnya lebih menekankan pengkajian perilaku hukum. Akan tetapi yang perlu menjadi titik tolak bidang kajian Ilmu Hukum adalah Kaidah Hukum yang berhubungan dengan nilai dan perilaku. Kaidah Hukum dapat ditentukan dalam dunia nyata sebagai hukum yang hidup berupa perilaku hukum dan terbentuk karena interaksi sesama manusia sehingga kaidah hukum menjadi fakta empiris.

Pada dasarnya, menurut J. J. H. Bruggink perintah perilaku, yang mewujudkan isi kaidah itu dapat menampilkan diri dalam berbagai wajah/sosok. Penggolongan yang paling umum adalah :
1.                  Perintah (Gebod) adalah kewajiban umum untuk melakukan sesuatu;
2.                  Larangan (Verbod) adalah kewajiban umum untuk tidak melakukan sesuatu;
3.                  Pembebasan (Vrijstelling, dispensasi) adalah pembolehan (Verlof) khusus untuk tidak melakukan sesuatu yang secara umum diharuskan dan
4.                  Izin (toestemming, permisi) adalah pembolehan khusus untuk melakukan sesuatu yang secara umum dilarang.
DAFTAR PUSTAKA